Manusia dan Tanggung Jawab
Manusia diturunkan ke dunia ini bukannya tanpa peran.
Manusia sesungguhnya mempunyai kedudukan dan tugas yang telah melekat padanya,
yang terbawa sejak dia dilahirkan di muka bumi ini.
Kedudukan manusia yang pertama adalah sebagai Abdullah, yang
artinya adalah sebagai hamba Allah. Sebagai hamba Allah maka manusia harus
menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkang pada-Nya. Jika kita
membangkang maka kita akan terkena konsekwensi yang sangat berat.
Kita adalah budak Allah, karenanya setiap perilaku kita
harus direstui oleh-Nya, harus menyenangkan-Nya, harus mengagungkan-Nya. Kita
ini memang budak dihadapan Allah, namun dengan inilah kita menjadi mulia, kita
menjadi mempunyai harga diri, kita menjadi mempunyai jiwa, kita menjadi
mempunyai hati, kita menjadi mempunyai harapan cerah yang akan diberikan Tuhan
kita, karena ketaatan kita itu.
Dengan kedudukan ini, maka Manusia mempunyai dua tugas,
pertama, ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian sempit maupun
luas. Beribadah dalam arti sempit artinya mengerjakan Ibadah secara ritual
saja, seperti, Sholat, puasa, haji, dan sebagainya.
Sedangkan ibadah dalam arti luas adalah melaksanakan semua
aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah SWT maupun
bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh keridoan Allah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist. Dan tentunya dari makna ibadah dalam
arti luas ini akan terpancarkan pribadi seorang muslim sejati dimana seorang
muslim yang mengerjakan kelima rukun Islam maka akan bisa memberikan warna yang
baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia dan banyak memberikan manfaat
selama bermuamalah itu.
Disamping itu segala aktifitas yang kita lakukan baik itu
aktifitas ibadah maupun aktifitas keseharian kita dimanapun berada di rumah, di
kampus di jalan dan dimanapun haruslah hanya dengan niat yang baik dan lillahi
ta’ala, tanpa ada motivasi lain selain ALLAH, sebagai misal beribadah dan
bersedekah hanya ingin dipuji oleh orang dengan sebutan “alim dan dermawan”;
ingin mendapatkan pujian dari orang lain; ingin mendapatkan kemudahan dan
fasilitas dari atasan selama bekerja dan studi dengan menghalalkan segala cara
dan lain sebagainya.
Sekali lagi jika segala aktifitas bedasarkan niatnya karena
Allah, dan dilakukan dengan peraturan yang Allah turunkan maka hal ini disebut
sebagai ibadah yang sesungguhnya. Di dalam Adz Dzariyat 56: “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Kita beribadah
kepada Allah bukan berarti Allah butuh kepada kita, Allah sama sekali tidak
membutuhkan kita.
Bagi Allah walaupun semua orang di dunia ini menyembah-Nya,
melakukan sujud pada-Nya, taat pada-Nya, tidaklah hal tersebut semakin
menyebabkan meningkatnya kekuasaan Allah. Demikian juga sebaliknya jika semua
orang menentang Allah, maka hal ini tak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan
Allah.
Jadi sebenarnya yang membutuhkan Allah ini adalah kita, yang
tergantung kepada Allah ini adalah kita, yang seharusnya mengemis minta belas
kasihan Allah ini adalah kita. Yang seharusnya menjadi hamba yang baik ini
adalah kita.
Allah memerintahkan supaya kita beribadah ini sebenarnya
adalah untuk kepentingan kita sendiri, sebagai tanda terimakasih kepada-Nya,
atas nikmat yang diberikan-Nya, agar kita menjadi orang yang bertaqwa, Allah
SWT berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [2 : 21] Dan satu hal penting
yang harus dicatat adalah bahwa beribadah hanyalah kepada Allah saja,
menggantungkan hidup ini hanyalah kepada-Nya saja.
Dunia ini adalah instrumen semata, yang akan berperan
sebagai bahan ujian dari-Nya. Karenanya, dalam beribadah, janganlah menduakan
Allah, karena hanya Allahlah satu-satunya dzat yang harus kita sembah dan
ibadahi. Ingatkah kita akan apa yang wajib kita ucapkan minimal 17 kali sehari,
dalam shalat-shalat kita, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, hanya kepada Allah
lah kami menyembah, dan hanya kepada Allah lah kami minta pertolongan.
Tiada yang lain. Karenanya, Allah tiada mengampuni jika kita
mensekutukannya, menduakannya dengan yang lain. Hanya berbuat karena Allah, dan
hanya meminta pertolongan kepada Allah lah yang membuat kita aman dari
murkanya, dan akan mendapatkan rahmat-Nya Tugas kedua manusia adalah sebagai
Kalifatullahi, kalifah Allah.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini telah ditaklukkan Allah
bagi manusia, Hewan, tumbuhan, binatang, bumi dengan segala apa yang terpendam
di dalamnya. Allah memberikan gambaran tentang diberikannya tugas khalifah
ketika berdialog dengan malaikat, dalam Q.S 2:30: Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah]
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’
Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’
Jika tugas manusia adalah sebagai seorang pemimpin, tentu ia harus dapat
membangun dunia ini dengan sinergis, dapat melakukan perbaikan-perbaikan, baik
antara dirinya dengan alam, maupun antar sesama itu sendiri. Karakter sebagai
seorang pemimpin ini tidak dengan serta merta tumbuh dengan sendirinya, hal ini
harus dimulai dari tanggung jawab yang kecil mulai dari diri sendiri menuju
lingkup yang agak luas sebagai pemimpin rumah tanggga, kemudian menuju yang
lebih luas lagi pada sebuah komunitas masyarakat yang dipimpinnya, hingga
akhirnya menuju tanggung jawab dalam lingkup yang lebih luas lagi.
Semestinya kita melakukan instropeksi kedalam diri kita,
apakah saat kita mendapatkan tanggung jawab sebagai pimpinan apapun, kita telah
menjalankan amanat yang diberikan itu dengan sebaik-baiknya? Apakah jika kita
tidak menjalankan setiap amanat yang kita terima itu dengan baik kita bisa
menyebut diri kita itu sebagai kalifah? Tentunya tidak bukan.
Oleh karena itu diri kita perlu selalu diasah untuk lebih
peka lagi, lebih peduli lagi terhadap lingkungan sekitar kita dalam membantu
sesama, bersinergi dalam segala aktifitas, peka dan ringan tangan dalam
membantu orang lain baik yang kita pimpin maupun saat kita berada dalam posisi
dipimpin oleh orang lain.
Tanpa kepekaan dan pengasahan diri sejak awal serta menggali
pengalaman sebagai seorang pemimpin yang sesugguhnya maka akan sangat jauhlah
diri kita dengan sebutan “Kalifah di muka bumi”, ini seperti halnya “sipunguk
merindukan bulan”, tanpa berbuat sesuatu namun mengharapkan sesuatu yang besar.
Seorang pemimpin dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya,
kemampuan untuk mengolah dan mengeksplorasi alam, maka sebenarnya ia tak boleh
semena-mena terhadap alam dan sesama manusia yang dipimpinnya, ia harus
mengelolanya dengan baik dan harus amanah dan memberikan suri tauladan yang
baik. Kepemimpinan manusia ini sebenarnya merupakan bagian dari ujian Allah,
yang barangsiapa dapat melakukannya dengan baik, maka luluslah ia.
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian [yang lain] beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [6:165] Lalu manusia ada yang menyadari tentang misi kenapa ia
harus berada di dunia, lalu ia memanfaatkan fungsi kepemimpinannya dengan
sebaik-baiknya, akan tetapi tidak sedikit pula yang akhirnya ingkar dan tidak
mau menyadari untuk apa ia di turunkan di dunia ini, hingga akhirnya
kerugianlah yang akan didapatkannya “Dia-lah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi.
Barang-siapa yang kafir, maka [akibat] kekafirannya menimpa
dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah
akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir
itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” [35:39].
Akan tetapi jika fungsi kekalifahan di bumi yang diberikan
Allah dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka begitu besar keberuntungan
yang akan diperolehnya, sebagaimana yang dilakukan nabi Saleh kepada umatnya
“Dan kepada Tsamud [Kami utus] saudara mereka Shaleh.
Shaeh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi [tanah]
dan menjadikan kamu pemakmurnya , karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat [rahmat-Nya] lagi
memperkenankan [do'a hamba-Nya].’ [11:61] Maka hendaknya kita berhati-hati,
akan amanah yang telah diberikan Allah kepada kita, karena sebenarnya setiap
kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya
masing-masing di sisi Allah Pedoman Dan Bekal Manusia.
Untuk pedoman hidup manusia Allah SWT menurunkan Al Qur’an
agar supaya manusia bisa mengemban amanah yang diberikan oleh Allah SWT,
disamping itu juga kita juga wajib untuk melaksanakan pedoman hidup dan cara
beribadah dan bermuamalah berdasarkan Sunnah Rasullullah SAW, serta ijtihad
para ulama dan tabiin yang berdasarkan pada Al Quran dan Al Hadist. Bekal
manusia yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayatNya.
Allah menganugerahkan mata, telinga, akal dan hati. Dan
nantinya mata, telinga, dan hati akan dimintai pertanggung jawaban Allah. Untuk
apa selama ini digunakan. Inna sam’a wal abshoro wal fu’ada kullu ulaaaika
‘anhu mas’uula, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, tiap-tiap dari
mereka akan dimintai pertangunggjawabannya.
Allah telah memberikan banyak hal kepada kita, pedoman yang
berupa Al Quran, demikian pula Allah telah memberikan bagi kita bekal berupa
mata, telinga, dan hati yang bisa digunakan untuk mencerna ayat-ayat Allah dan
petunjuk Rasulullah SAW.
Karenanya sangatlah adil jika kemudian Allah menuntut
tanggungjawab kita sebagai manusia. Selama di dunia ini, apa saja yang telah
kita lakukan. Al Qur’an yang kita punya, kita gunakan untuk apa saja, apakah
memang telah kita gunakan sebagai pedoman dalam keseluruhan aspek kehidupan, ataukah
kita abaikan begitu saja.
Demikian pula petunjuk yang diberikan Rasul, apakah kita
taati, ataukah selama ini kita hanya menggunakan Sunnah Nabi dan al Qur’an
sebagai pembenar-pembenar saja dari apa yang ada pada pikiran kita. Karenanya
Allah menegaskan, bahwa pertanggungjawaban manusia itu akan diminta. Akan
tetapi manusia banyak yang mengira bahwa hidup ini dibiarkan begitu saja, atau
barangkali ia tahu akan tetapi tidak menyadarinya, karena tertutupi
penglihatannya dengan fatamorgana dunia.
Karenanya tidaklah salah jika Allah dengan pertanyaan
retorisnya mengatakan : ‘Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja [tanpa pertanggung jawaban]?’ [75:36].
‘Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua,
tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.’ [15:92-93]. Dan ayat yang lain:
‘Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,’ [74:38].
Dalam surat Al zalzalah yang menceritakan hari kiamat Allah
memberikan gambaran bahwa di hari itu, manusia akan keluar dari kuburnya dalam
berbagai macam keadaan sesuai dengan amalan yang telah mereka kerjakan, “Pada
hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya
diperlihatkan kepada mereka [balasan] pekerjaan mereka” [99:6].
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji zarrah,
niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat biji zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya
pula.” (99:7-8) Dari ayat di atas dapat kita ambil hikmah bahwa betapa Allah
SWT telah mengajarkan kepada manusia agar bersikap peka, meski terhadap hal
yang teramat kecil sekalipun. Memang, sesungguhnya Islam sangat menekankan agar
kita memperhatikan hal-hal kecil bahkan detail dalam hidup kita. Saudaraku,
kepekaan memang sudah selayaknya terasah dalam setiap gerak langkah hidup kita.
Nah, jika demikian menanamkan semangat bahwa sesuatu yang
kita lakukan selalu saja ada pertanggungjawabannya, dan setiap lintasan pikiran
yang ada di hati kita juga diketahui oleh Allah SWT, maka barangkali harus
selalu kita camkan, agar kita berhati – hati dalam berbuat dan bertingkah laku
serta kita luruskan segala niat kita untuk menggapai Ridho Allah SWT semata..
Dan dihari kiamat itu Allah akan memasang timbangan yang akan menimbang amal
dan dosa manusia dengan seadil-adilnya, tanpa kezaliman sedikitpun.
Meski sedikit sebuah amal, maka ia akan tertimbang juga,
demikian pula meski sedikit dosa yang terpercik akan ada nilai yang
diperhitungkan pula. Tak kan ada yang dirugikan dalam penimbangan itu. Semuanya
tergantung dari manusia, dan semuanya tergantung pada sikap kita selama di
dunia.
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat,
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika [amalan itu]
hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan [pahala]nya. Dan cukuplah
Kami sebagai pembuat perhitungan.” [21:47] Ketika manusia disidang di akhirat
kelak, tak kan dapatlah ia mengelak, sebagaimana persidangan-persidangan yang
ada di dunia.
Jika persidangan yang ada di dunia amat ditentukan oleh
saksi yang terkadang sulit didapatkannya, kredibilitas kejujuran seorang hakim,
dll, akan tetapi di akhirat yang menjadi saksi adalah anggota tubuh manusia itu
sendiri.
Jadi tak akan ada lagi alasan, ketika tangan, kaki, mata,
telinga dan semua anggota badannya menjadi saksi dan membeberkan setiap
perbuatannya selama di dunia. Jadi jika demikian, artinya tak akan ada lagi
bagi kita tempat berlari kecuali kembali kepada Allah dengan terus meningkatkan
maraqabatullah, perasaan untuk selalu diawasi Allah. Karena memang, meski tak
ada siapa jua, akan tetapi Allah akan tetap mengawasi kita segala lintasan
dalam pikiran kita pastilah selalu diketahui oleh Allah SWT.
Walau kita merasa tak kan ada yang melihat perbuatan kita,
tapi anggota tubuh kita akan menjadi saksi kelak di hari kiamat dari apa yang
kita kerjakan. Jadi memang tak akan ada jalan lain kecuali lari kepada Allah.
Semoga kita semua termasuk golongan yang diberikan
keselamatan di dunia dan akhirat, amiin. Dan semoga dalam Ramadhan kali ini
kita bisa mendapatkan hikmah dan berkahnya untuk bisa mendapatkan derajat
tertinggi yaitu taqwa.
Dan setelah Ramadhanpun tetap ada jejak kita seperti saat
bulan Ramadhan kita kali ini. Wallahu ‘alam bishowab. Wassalamu ‘alaikum
warahmatullahi wabaraakatuh KesimpulanPada umumnya manusia mempunyai tanggung
jawab kepada sesama manusia terutama kepada Tuhan YME,dan semuanya tertuang
dalam Al-Quran dan Hadist.
Semua itu dapat dilakukan dengan cara menjalankan kewajiban
yang telah ditentukan Allah SWT,seperti sholat, dan berpuasa serta kewajiban
lain yang ada di dalam rukun Islam, dan apabila dilanggar akan mendapat balasan
di akhirat.